Ini Yang Ku Sebut Kenangan

//Allah şükür

‘Menjadi mutiara bagi Tiram yang hina’

Silam desah nafas Purnama lalu//  

“Hoi..Hoi..”

Ah! Selalu saja dia mengganggu lamunanku dengan sapaan renyah-nya. Sapaan lainnya kek? ‘Hoi..’ itu terdengar seperti panggilan untuk turunan mata sipit. Jelas sekali karibku itu tidak tahu cikal-bakal berurut silsilah keluargaku. Memang tidak ada turunan chinesse. Apa karena nenekku (Alm) yang selalu berklien bisnis dengan para chinesse itu, kerap kali membawa bundaku hingga akhirnya dua putri cantiknya berparas seperti nonik-nonik chinesse itu?

Hei, bukan itu yang mau ku bahas. “

kata itu rancu jika ditulis disitu. Kenapa gak dihapus aja? Atau diganti ddengan kata lain?”

“Yaa terserah yang buat..”

“Yaaah, kamu emang belum mahir aja. Ngaku doang susah… Haha..”

Heu. Lagi dan lagi. Karibku itu komentar tentang karya yang ter-posting  di halaman majalah sekolah. Seingatku sudah lebih dari lima kali dia celoteh  tentang beberapa karyaku. Dulu, dulu sekali. Saat pertama kali mengenal karibku itu. Mungkin talenta yang sama pertemukan. Meski, selalu menjengkelkan. Seakan dia paling hebat. Padahal, mana? Belum pernah ku temukan karyanya di majalah bulanan sekolah. Kalau pun ada, tak mau aku membacanya (haha.. ).

// maka,

Kuindahkan Tiram yang diam

Pada bilah Karang yang mengaram

Meski bercampur amis-garam Ada Mutiara sahabat Tiram//

Suatu masa, ada banyak cerita karibku terbang mengepak-ngepak mendarat di telingaku. Apa kata mereka? Tak ku hiraukan. Ada yang memuji agungmu, ada juga menjatuhkan. Aku tak mau dengar itu semua. Ku anggap omong-kosong.  Bagi ku memuji agungmu? Banyak yang kalian tidak ketahui dari mumpuninya karibku itu. Kalian jatuhkan? Olok-oloknya? Sok tahu kalian. Aku dekatnya.

Oh ya, di sudut senja. Setelah beberapa waktu kita disibukkan ­jam-jam  itu. Ku sempatkan menghirup segar udara alam. Sempat kita tak tegur sapa, tak mengerti sebab apa. Tapi, mungkin alam yang izinkan karena hobi kita sama. Menyentuh medan alam dan kekarabannya. Padahal, aku tak tahu kau ada disitu, tapi kau yang menyapa mendahului. Dan aku? Seakan tak mengenalmu.

Putar ku putar prosa tiga tahun lalu. Kala malam bertabur pesta demokerasi kepemimpinan, gamang! Antara tiga pilihan. Ah! Bingung campur haru. Menangis pula. Ada pilihanku dimana aku bisa bekerja-sama dengan karibku itu, tapi kuingat sebelum malam pesta itu. Dia mengingatkanku tuk pertimbangkan segala kemungkinan nanti. Finally, ku ambil yang kiranya sedikit kerja-sama dengannya. Tak apa, karena aku masih bisa bersama dengannya dalam satu koridor perjuangan. Ternyata benar sekali dugaanku, ada koridor lain yang sama juangnya.

//Edelweiss, Edelweiss

Every morning you greet me

Small and white, clean and bright

You look happy to meet me

Blossom of snow may youbloom and grow

Bloom and grow forever

Edelweiss, Edelweiss

Bless my homeland forever//

Sebait lagu itu baru ku genggam ‘nyata’nya berbulan silam.  Ada digenggaman serangkai Edelweiss itu. Lagu yang kerap kali kunyanyikan, bahkan menjadi kebanggaan karena itu yang memabantu saat menjadi Paduan Suara di Sekolah Dasar yang lalu. Memang nyata abadinya. Seperti makna ikatan yang kau petik jauh sana.  Tersenyum sinarnya kala kubuka jendela kamar

. Menggelap ;

Ini sedih memerih bila malamnya datang

Sebab bebtintang enggan muncul

Meronggokku  padaNya, hadirkan purnama

Apalagi aku ini? Berjarak jauh sekali saat tak mampu mengantar kepergian jauhmu. Wah keakraban sahabat yang jauh dong? Haha. Ku ingat malam itu. Hingga larut , berganti-ganti kawan yang lain pamit. Ku tunggu sampai hari baru datang. Tak muncul. Sebal sekali. Gila! Haha.

Syukurku, kau sampai selamat. Tak apa. Mimpiku digenggam olehmu. Itu mimpiku sejak kelas 5 SD. Akibat, bunda kenalkanku dengan novel fenomenal itu. Ayat – ayat Cinta. Gila memang. Usiaku masih teramat sangat dini untuk membaca novel itu. Tiga hari pun selesai. Mulai tamat novel itu aku bermimpi berada disana. Terlebih saat ku temukan ijazah S1 ayah.  Nihil. Mimpiku kau raup. Tak apa. Oh ya! Jika ada, fotokan tempat-tempat indah disana.

Ngapain kamu ikut-ikut?”

“yee, aku juga gak tahu kok bisa.Haha..”

Buang muka aku membalas jawaban darinya. Kenapa bisa dia ikut agenda ini? Terlebih, dia bawa kamera. Urgh! Dongkol sekali rasanya, dia bisa menyimpan sisi kehidupan panjang ini. Sebenarnya aku pun bisa, terlebih karena telepon genggam di tasku.

Pagi itu sedang hangat-hangatnya, berbagi cerita dengan kawan-kawan divisiku. Menikmati potongan demi potongan Serabi Cibulan, kedoyanan. Sesekali meneguk teh hangat dan susu digelas masing-masing. Foto bersama dan saling ejek-mengejek. Sangat kaget ketika berulang kali aku diminta ke pusat informasi, hormatku harus menemani guru kesayangan.

Tapi ini gila! Kenapa karibku itu ikut juga?? Haha, tak apa sebenarnya. Setidaknya dia bawa kamera yang bisa ku minta filenya nanti.

It was amazing journey! Sepanjang perjalanan ini, kudapati view  yang bukan main indahnya. Ini dia Jawa Barat.  Mengalir dibawahnya kejernihan sungai, bersama pengairan untuk permadani hijaunya sawah. Sembari ku dengar percakapan guruku itu, berulang kali jari-jemari memainkan tuits hpku. Dan entah berapa kali, ku perhatikan apa yang dilakukan karibku itu. Selama perjalanan hanya diam. Tidur kali ya? Haha..

Sampai pada satu jalan setapak. Tanah gembur. Mobil Avanza  ini terjerembab didalamnya. Ada hampir dua jam masih terjebak. Mana sepi lagi. Fortunately, there were men. Pemuda-pemuda desa. Cerdas sekali, sampai baju mereka kotor karena tanah gembur bermain-main pada pusaran roda mobil.

Kau ingat perjalanan itu? Haha..

Sahabat Purnama.

Maksudku, indah purnama di malam waktu Kampung Inggris saat itu. Menjadi sahabatku.  Purnama itu mengikat setiap yang melihatnya. Indahnya menggantikan bebintang. Tanpa purnama, bagiku malam demi malam kering, hampa. Meski bertabur sejutaan bintang pun. Cahayanya palsu? Nyatanya purnama itu berlubang? Ah, itu bagi mereka saja yang memaknainya begitu. Adanya purnama pun indah termaktub di Kitabku. Itulah, mengapa aku mengibaratkan karibku purnama.

Sahabat Purnama; Berjarak –jauh tak sanggup ku hitung kembali

Perlu bertahun abad kuhitung dengan langkahku menuju negerimu itu

Padamu ceriaku; Berkata-kata diakhir malam, meronta

Lengan cahaya ikhlas pendarmu

maka, ini yang kusebut kenangan. Mengenangmu, banyak cara bagiku..

Leave a comment