Masihkah Ada Surga Di Telapakmu, Ibu?

Kata Nabi “Ibu adalah madrasah pertama”. Itu yang pernah Ust Ahmad ajarkan padaku, pada sela-sela waktu ngaji sore hari. Ibu?

Masih ku pandangi botol demi botol parfum berelokkan pita merah muda terikat dikepala bagian kepala parfum. Ya, ini milik ibu. Wangi tubuhnya yang khas, membawaku beberapa waktu silam. Waktu dimana Ibu menyajikan sarapan untuk ayah dan kedua saudaraku. Waktu dimana tiada kesedihan, saat Ibu tahu adikku terlahir cacat. Ya, wangi yang khas!

Februari, 2005

“Rahman, jangan jaili Ridwan!” bentak Ibu.

“Bu, Rahman Cuma ajak dia main. Ridwannya aja yang rese!”

“Dia masih kecil! Dia tidak seperti kamu dan Kak Rizal!”tukas Ibu.

Ya, adikku Ridwan. Si bungsu kesayangan Ibu, terlebih saat Ibu tahu dia memiliki keterbelakangan mental. Apapun Ibu lakukan untuk si bungsu. Aku tak ambil repot, aku hanya ingin mengajaknya bermain, Itu saja!

Ibu yang kesehariannya menjaga toserba kecil. Dan Ayah yang terkadang menemani Ibu, Ayah juga sibuk dengan hewan-hewan unggasnya. Kata internet, bermain bersama unggas adalah komunikasi efektif bagi orang-orang yang kurang. Ibu yang siap banting tulang, membangun keluarga ini bahagia. Ibu yang selalu memberi segala apa yang diminta Kak Rizal. Kata Ibu,”Kak Rizal itu sudah besar. Harus Ibu bantu agar bisa jadi orang hebat. Kamu kan masih kecil Rahman.” Ya, itu Ibu. Ibuku..

“Bu, susu cokelatnya dimana? Rahman udah telat. Nanti dihukum lagi sama Bu Ani. “ tanyaku.

“Ada di kulkas, Man. Sekalian siapkan untuk Ridwan di meja. Kakakmu mana? Jam segini masih di kamar?”

“Kak Rizal masih di kamar, Bu. Sudah Rahman bangunkan berulang-kali. Dia malah marah-marah.”

“Kakakmu itu memang pulang malam tadi malam, Man. Jadi wajar kalau dia masih mengantuk.”tukas ibu.

“Kak Rizal pulang malam? Memang dari mana, Bu? “ tanyaku.

“ Biasa, ada kegiatan SMA katanya. Biar Ibu yang bangunkan. Kamu jaga Ridwan! Jangan lupa beri dia  susu!” perintah Ibu.

Kegiatan SMA?Ah, itu alasan Kak Rizal saja.

November, 2010

Bu, Nenek minta Ibu temani. Nenek mau ke bank dikota katanya.” kabarku padanya.

“ Ke bank? Kapan?”

“Nanti sekitar jam 10. Nenek mau shalat Dhuha dulu katanya.”jawabku.

“Oh, jam 10. Baguslah, Ibu juga belum siap-siap. Rahman, kamu bilang ke Ayah, biar Ayah yang jaga toko.” pinta Ibu.

Bergegas aku menuju pekarangan rumah. Memang terbilang cukup besar rumahku ini. Lebih tepatnya rumah Nenek. Ya, ini harta Nenek. Pengusaha besar di desaku ini. Rumah dengan taman dan belasan kandang-kandang unggas dan empat kolam ikan di pekarangannya. Dan rumah ini cukup Ibu sendiri yang membersihkannya. Dia tidak mau ada siapapun yang membantunya.

Pukul 09.30. Ibu sudah keluar dari kamarnya, lengkap dengan baju muslimah dan kerudung yang mengikat di leher. Tak lupa, wangi khas botol-botol yang tertata rapi di lemari kacanya.

“Ibu ke rumah Nenek sekarang. Kamu jaga rumah dan Ridwan. Kak Rizal pulang sore.”

Kak Rizal pulang sore? Aku mengangguk, meng-iyakan kesiapan menjaga rumah, isinya, juga Ridwan.

Nenekku, memang dikenal orang sebagai terkaya di desa. Dengan rumah yang berhektar-hektar luasnya, sawah yang banyak mempekerjakan warga, juga macam-macam aneka susu yang diproduksi. Ya, memberikan pengharapan besar pada warga yang menganggur. Juga Nenek yang selalu berbagi kepada warga, THR Lebaran bahkan sampai Angpao. Terakhir, ia bangunkan Madrasah dan Masjid.

Ibu adalah menantu yang paling sering dimintai tolong oleh Nenek. Kenapa? Ya, karena rumah yang paling dekat adalah rumahku. Selebihnya tinggal di Jakarta, Depok, dan kota besar lainnya.  Jadi, Ibuku lah yang tahu dimana Nenek menginvestasikan sebagian hartanya. Ibuku yang kerap kali temani nenek kemana pun nenek pergi.

(masih) November, 2010

Bendera kuning. Entah dari mana asal-usul itu. Isyarat meninggalnya seseorang. Mungkin itu ajaran nenek  moyang yang hingga kini jadi budaya bangsa.

Ya, rumah nenekku penuh dengan tamu pelayat. Beberapa jam sebelum malaikat Pencabut Nyawa datang, nenek memang meminta para pembantunya untuk mengahamparkan karpet-karpet di ruang utama dan ruang tengah. Bahkan sehari sebelumnya, nenek meminta semua anak dan menantu untuk datang, barang hanya sekadar makan-makan. Familiy gathering.

Tepat di waktu Dzuhur tiba, ia kenakan mukena. Terakhir, putra sulung (pamanku) yang menemukan nenek sudah tak bernyawa dalam keadaan bersujud. Tangis pecah disana sini.

Usiaku yang masih relatif remaja saat itu hanya menangis diam. Melihat nenek dibalut kain putih. Kata sepupuku namanya Kafan.

Warga silih berganti datang, shalat dan mendoakan. Bahkan klien-klien nenek pun datang dari tempat yang jauh. Dari muslim sampai non-muslim.Ridwan, hanya diam tak mengerti. Kak Rizal diam sembari berkumpul bersama sepupu yang lainnya. Dan… bersamanya seorang gadis. Kata Kak Rizal, itu kekasihnya. Sedangkan Ayah, (putra ketiga nenek) menangis sesegukan. Ya, pria pun ada kalanya tak mampu menahan  airmata.

Maret, 2011

Setahun sudah memang nenek meninggalkan segala yang ada di desa ini. Pengangguran mulai disana-sini. Akibat pembagian hak waris yang tidak sesuai. Siapa cepat dia dapat. (Sekarang aku hanya bisa tertawa sambil menangis). Yang kutahu, pembagian hak waris itu ada dalam Undang-undang. Bahkan diatur oleh agama. Entahlah, usiaku hanya bertambah tua. Namun ilmuku masih sangat dangkal. Itu bukan urusanku, remaja. Itu urusan meereka yang dewasa.

Ibu, semakin sibuk. Aku pun tidak begitu paham yang ibu lakukan. Hanya pulang-pergi, bulak-balik rumah nenek.  Kak Rizal pergi siang, pulang malam. Sedangkan aku, pergi sekolah pagi. Ridwan? Kadang pergi dari rumah tanpa izin. Kerap kali ku temui ia mengambil parfum-parfum di toko alun-alun. Dari satu toko ke toko yang lain. Aku bingung dibuatnya. Sudah menjadi cemilan omelan ibu, karena aku tak mampu menjaganya. Ayah? Mana paham tentang Ridwan, hak waris. Ayah asik dengan ungas-ungas dan toserba yang Ibu tinggalkan.

“Bu, Rahman gak bisa jagain Ridwan terus-terusan. Rahman punya kepentingan juga…”pintaku.

“Kak Rizal sibuk, Ayah mana bisa jaga Ridwan! Ibu banyak urusan!”bentaknya.

Ridwan terpenjara. Ibu pun akhirnya mengunci Ridwan di dalam kamar dengan belasan gembok. Pintu kamar, bahkan pintu rumah. Akibat aku yang selalu meninggalkan Ridwan tanpa izin Ibu. Jelas, aku tak mau usia remajaku terpenjara.

Juli, 2012

Rata sudah pembagian hak waris. Dengan harta terbanyak ada pada Ibu. Sebagai menantu nenek yang paling sering menemani nenek, dan Ayah sebagai putra nenek yang terbelakang. Entah dari mana hukum hak waris itu. Dan adik Ayah, perempuan satu-satunya yang mendapat harta terkecil. Dan harta buangan.

Sejak kepergian nenek, gaya hidup keluargaku berubah. Aku bukan termasuk remaja yang gila gadget dan dunia maya lainnya. Bermain serabutan dengan teman-teman SMP ku adalah hobiku. Memancing, futsal. Hanya seputar itu. Atau arak-arakkan takbiran dan tahlil keliling desa. Tak jarang mampir ke rumah saudara lainnya.

Ridwan? Ibu sudah mengurusnya. Kak Rizal? Pergi ke kota besar. Kerja kata ibu. Seminggu sekali Kak Rizal pulang, berganti-ganti merek hp dan gadget ditangannya. Ayah, memang orang yang paling tenang. Tidak ambil pusing urusan harta warisan. Ikut kata ibu saja.

Desember, 2012

Kata Nabi, “Surga dibawah telapak kaki Ibu.”

Ayah menangis.

Surat itu sudah ditanda-tanganinya. Surat Talaq. Ibu yang buat? Ya, usia SMA ku cukup paham bagaimana prosesnya. Tanpa ada arbitrase antara ke dua belah pihak. Tanpa ada surat dari pengadilan? Kau kia aku bodoh, Bu?

Ku peluk Ayah erat. Tiada yang disisinya selain aku dan kakak pertamanya. Rumah yang kami tinggali, kini atas nama Ibu. Ayah dan aku tinggal bersama Paman Andi (kakak pertama Ayah).

“Bu, Kak Rizal memang kerja apa di Jakarta?”

“Gak usah kamu tanya-tanya tentang Kak Rizal. Yang penting dia pulang bawa uang.”jawab Ibu ketus.

Gimana ini, Ma? Kasian benar Rahman dan Agus..”

“ Bagaimana pun ini adalah tugas kita sebagai saudara, Pah..”

“Kalau sewaktu-waktu Rizal tertangkap bagaimana? Mau dimana kita taruh wajah keluarga kita? Dasar memang, Ibu dan istri macam apa seperti itu!”

“Sudahlah, sekarang kita cari solusi. Bukan mencaci-maki Desi.”

Kupingku tak lepas dari obrolan Paman Andi dan Tante Nisa. Wajah Ayah masih saja kelam, murung. Kata warga sekitar, kakakku kini sibuk dengan tanaman terlarang itu. Dengan belasan wanita ditangannya. Sejak SMP aku sudah sering sekali menasehatinya. Bahkan, sepupu-sepupu dan paman lainnya.

Ibu? Ini semua karena Ibu?

Dia tinggalkan aku dan Ayah. Ridwan dibawanya pergi bersama suami barunya. Kak Rizal entah dimana dia sekarang. Aku hanya berdoa, dia sedang menangis bertaubat.

Madrasah pertama seorang anak adalah Ibu? Ibunya buruk maka anak akan ikut buruk?

Hari ke-hari, ingin sekali rasanya aku menyumpahi tingkah polah ‘Madrasah Gadungan’ itu. Menyumpahinya dengan banyak keburukan. Ibu, kau kira aku tolol? Kau tinggalkan aku dan Ayah dengan segala kemiskinan dan tidak terhormat?

Benar kata Nabi, “Wanita dinikahi dengan empat perkara. Kecantikannya, hartanya, keturunannya, dan agamanya. Maka pilihlah agamanya, kau akan selamat dunia-akhirat .”

Jika begini, masihkah ada surga ditelapak kakimu? Aku hanya mempu beralam shaleh, mengaminkan doa. Semoga doaku selamatkanmu dari api neraka. Agar baktiku pada Ayah, baktiku juga padamu. Dan surga itu tetap di telapak kakimu. Lalu, membawaku bertemu Sang Nabi.

Leave a comment