Surga Yang Terlupakan

“Sudahku bilang beberapa tahun lalu kepadamu, Nduk. Sekarang kau yang rasakan..”Nasehat Tata.

Ya memang tidak ada yang harus disalahkan. Ini memang pilhanku. Tentunya dengan banyak pertimbangan. Meski disikut berkali-kali. Bagiku  Mas Amir tetap  istimewa. Meski dengan ‘kering’nya.

“Teman temanmu itu sekarang sudah miliki banyak gadget. Bahkan hampir setiap bulan mereka gonta-ganti merk mobil. Kamu? Nduk, jangan mau diam terus patuh sama Mas-mu itu. Miskin kamu.”Omelan Tata mulai membakar emosiku. Urusan apa dia banyak komentar rumah tanggaku?

Rumah tanggaku hampir tiada ku temukan goncangan. Nyaman selalu hadir di setiap gersangnya hari, Meski dengan bangunan rumah yang minimalis, dan kendaraan motor dua seadanya. Kedua permataku pun alhamdulillah bersekolah dengan lancar. Tiada hambatan dalam prestasi. Bahkan lebih sering mencenganmasku dan Mas Amir dengan piala-piala dan nilai-nilai istimewa lainnya.

Nduk, minta-lah pada Mas Amir-mu itu. Handphone-mu itu kolot.Gak malu kau nanti depan kawan-kawan lamamu?”Aku terdiam.

“Handphonemu itu bisanya Cuma sms sama nelpon doang. Temanmu yang lain udah canggih dengan Instagram, Viber aplikasi-aplikasi keren itu, Nduk!”Cerewetnya di suatu pagi.

Tata, kawan terdekatku sejak Mas Amir dan aku membeli rumah minimalis ini. Sedari dulu Tata memang selalu banyak cerita denganku. Tentang Anas ex-husband dan Andi suaminya kini. Atau terkadang tentang Nika dengan puluhan gelang emas ditangannya. Boy yang gonta-ganti istri para model. Shanti Si Bunga Rampai SMA yang sekarang miliki banyak saham. Nyatanya, aku memang cewek paling beda diantara kawan SMA-ku dulu. Terlebih karena dikenal sebagai  Juara Umum, Juara Olimpiade Biologi tingkat Provinsi. Hingga akhirnya aku lulus S1 di Universitas favorit. Dan menikah dengan Mas Amir, yang latar belamasnya agamis. Sekolah tinggi pun bukan berasal dari universitas favorit. Shalih itu kata guru ngajiku.

“Wi, eling pesan Bapak. Pileh bojo sing sholeh.Surga manut neroko katut.” Itu pesan Bapak diakhir malamnya.

***

“Bunda, Ayah mana? Alhmadulillah, Liya diminta ikutan Lomba Cerdas Cermat tingkat kota bulan depan Bunda. “Cerita Liya selepas pulang sekolah siang, sembari memelukku erat.

“Wah? Alhamdulillah, Bunda bangga dengan Liya. Tapi kenapa Liya cari Ayah? Ayah belum pulang.”Jawabku pada anak perempuanku.

“Iya, Bun. Nanti disoal cerdas-cermatnya ada banyak soal agama katanya. Liya dan kawan-kawan sekelompok minta Ayah ajari. Sebab guru agama Liya lagi sakit.”Curhatnya.

“Ya sudah. Nanti Bunda ceritakan ke Ayah nanti jika sudah pulang. Liya mandi sore dan Shalat Ashar ya sekarang. Jangan lupa ngaji Maghrib nanti di mushola.”Ku elus kepalanya.

“Oh iya Bunda! Liya lupa. Makasih Bunda shalihah..”Liya cium keningku. Bahagia sekali dikecup seorang anak.

Bergegas Liya menanggalkan seragam merah putihnya. Senyum manisku karena gelora semangatnya. Selalu-lah menjadi Qurrata A’yun, Nak.

***

Apa yang membuat ketidak nyamananku bersamanya? Telah lahir dua permata hati dari setiaku bersamanya. Keduanya menjadi bintang kelas. Kami sudah tidak tinggal bersama orangtua. Lalu, mengapa aku begitu resah?

Nduk, ini sudah konsekuensi kamu bersuami –kan yang penghasilannya tidak jelas. Ikhlas saja. ”Nasihat Teh Ami kakak sepupuku, setahun setelah kelahiran Liya.

“Yakin ,Wi. Allah ngasih rezeki itu gak kemana. Ingat Nduk, pesan Bapak. Suami sholeh itu nanti bakalan bawa kamu ke surga.” Ungkap  guru ngaji-ku sewaktu pengajian pekanan di Masjid As-Salam.

Ah! Tapi tetap saja. Aku merasa tidak cukup. Apa Mas Amir tidak mengikuti perkembangan jaman? Saat orang lain sudah hebat dengan kecanggihan gadget, perjalanan weekend  diluar kota. Bahkan, kawan-kawanku banyak yang berlibur ke luar negeri. Ya, minimal Umroh. Apa itu semua tidak pernah terbesit di benak Mas Amir?

Mas Amir terlalu sibuk dengan agenda-agenda dakwahnya dan mengajarnya. Mengisi liburan pun hanya membawaku , Liya dan Adam ke toko buku. Ke butik muslim pun hanya sekali dalam sebulan. Apa semua prestasi yang sudah Liya raih lantas tidak membuat Mas Amir tergerak memberinya hadiah bermain dan berbelanja?

***

“Mas, baju yang mana pantas untuk aku pakai reuni nanti ya?”Tanyaku di suatu senja.

“Bunda cantik kalau pakai yang biru muda, Bun. Ditambah dengan kerudung yang corak bunga-bunga putih itu. Elegan dan mewah, tapi sederhana.”Liya memberi masukan.

“Sepatunya jangan yang hitam, Bunda. Pakai sendal saja. Bunda terlihat seperti di foto album Bunda.Cantik.”Puji Adam menambahkan.

“Kalau bagi Ayah, Bunda pakai baju manapun tetap sangat cantik. Lebih dari putri permaisuri.”Mas Amir tiba-tiba mengecup kepalaku.

“Ih, Ayah gombal didepan anak-anaknya..”Ledek Adam. Liya tertawa.

“Bunda cantik kalau pakai ini?”Tanyaku kepada Adam.

“Iya Bunda. Adam setuju sama Mbak Liya. “

Bersegera aku memakai gamis biru muda dengan kerudung corak bunga putih. Ditambah dengan bros permata. Memang terlihat sangan glamour tapi sederhana, dan tentunya elegan. Tidak mengurangi ke khas-an ku.

“Mas, aku pergi dulu. Ba’da Isya, aku langsung pulang Mas. “ Pamitku.

“Hati-hati ya, Dek. Kalau ada apa-apa, hubungi Mas segera.”Titahnya.

***

Pinar cahaya lampu restoran mewah ini menelusuk jiwa. Sejak lulus SMA jarang sekali aku mampir dan bercengkerama bersama Tata, Nika, Shanti, Boy. Bahkan hampir tidak pernah. Aku lebih sibuk dengan kegiatan kampus. Dan lupa dengan mereka semua.

Disudut kursi makan sana,ku lihat Tata dan Shanti sedang tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang mereka bicarakan. Lengkap dengan pakaian super minim dan gadget. Rasa-rasanya ini seakan mencercaku .

“Hei! Itu Dewi Profesor Biologi itukah? Sini, Dew!” Pangling Nika melihatku.

“Assalammu’alaikum Nik..”Salamku.

‘Wah, tambah sholehah Dewi ini. Di kasih vitamin tambahan ya sama Mas Amirmu itu?” Aku hanya membalas dengan senyuman.

“Wi, sibuk apa sekarang? Eh, aku jarang lihat kamu online di Facebookmu itu. Kemana sih?” Shanti mencaritahu.

“Iya. Maaf ya. Aku online kalau Mas Amir pulang. Sebab di rumah tidak ada internet. Modemnya selalu dibawa Mas Amir.”Jawabku santai.

“Aduh, Dew… Piye iki? Jaman sudah hebat seperti ini kamu masih ngekor suamimu itu. Kenaoa kamu ndak minta sama suami mu itu?” Dihujaninya aku dengan ocehan mereka. Mas Amir, aku malu Mas.

Nduk, kamu punya hak minta apapun ke Mas Amir itu. Wong dia suamimu. Aku baru nemu istri yang nurut suami seperti kamu , Wi. Tapi jangan terlalu patuh juga. Kamu bisa minta macam-macam sama suami mu itu. “Nika seakan menasehatiku.

“Kalau ternyata suaminya gak bisa ngasih? Gimana,Nik?” Ledek Tata.

Yaa golek bojo sing liya dong.” Nika tertawa. Tata, Shanti dan kawan lain mengikuti.

Aku semakin merasa tersisihkan. Inginku pulang.

“Nik, gimana suamimu itu? Aku dengar kamu mau dibelikan mobil ya?”Shanti mengalihkan perhatian.

“Ah, bingung juga aku sama dia. Janjinya kemarin dia beli. Sampai sekarang belum juga.”Nika menimpal.

“Lah? Mobil sedan merah yang sebulan lalu itu kemana? Itu  sedan jenis baru kan, Nik?”Heran Nina, kawanku yang lain.

“Nin, gila aja aku masih pakai mobil itu. Aku mau jual sedan itu. Lagipula Android ku ini sudah jelek. Uang sedan aku belikan tablet keluaran baru.”Pamernya.

“Wi, gimana? Tata dapet tuh bonusnya. Mau gak?”Tawar Nika.

Dahiku mengerut. Aku tak faham.

“Maksudmu apa, Nik?”Timpalku.

“Haha! Dewi, Tata, Shanti setiap minggu mereka dapat bonus banyak. Kemarin gimana Ta? Tawaranku hebatkan?”

“Brondong kaya, Nik. Gila aku dibuatnya. Gadgetku bertambah banyak. Minggu ini juga ada yang baru kan? Yaa selagi Mas Rendra lagi diluar kota.”Jawabnya.

Ya Allah, apa yang mereka bicarakan? Demi emas dan gadget-gadget itu mereka berkhianat?

“Gimana, Wi? “ Ledek Nika. Tertawa.

Aku terdiam.

***

Sore yang tenang. Bersama kumpulan artikel tanaman-tanaman dan album foto Bapak. Secangkir teh hitam setidaknya mampu temani penghujung hari ini. Menanti dua permata  dan Mas Amir  pulang.

“Assalammu’alaikum Bundaaaaa…” Liya serentak memelukku erat.

“Ada apa sayang?”

“Bundaaa, alhamdulillah Liya lolos cerdas cermat. Bulan depan Liya lomba tingkat Provinsi Bunndaa..” Membuncah kebahagian terpancar dalam lisannya.

“Wah? Alhamdulillah.. Bunda bangga dengan Liya.”Ku cium pipinya yang memerah.

“Makasih Bunda. Ayah belum pulang ya? Tadi banyak sekali soal agama yang pernah Ayah ajarkan,Bun..”Curhatnya.

“Dew, Dewiiii!!!” Seseorang berteriak. Aku kenal suaranya.

Tata.

“Assalammu’alaikum , Dew!”Salamnya.

“Liya, Liya ganti pakaian dan Shalat Ashar ya.. Bunda ada tamu.”Bisikku pada Liya. Liya mengangguk.

“Wa..Wa’alaikumsalam , Ta. Ada apa? Kenapa tergesa-gesa sekali?”

“Wi, ini parah, Wi. Aku terancam bahaya!!”

“Iya, kenapa Ta?”

“Nika diceraikan suaminya. Ternyata suaminya selingkuh!”

Ya Rabbi…

“Terus gimana? Kenapa kamu terancam bahaya?”

“Poiisi sedang memeriksa Nika. Aku terancam kena imbas Nika juga dong, Wi!! Bagaimana kalau aku masuk penjara? Suami menceraikan aku? Bisa mati aku!!”Curhatnya..

Wajah teduh Mas Amir, piala-piala Liya dan Adam. nasehat Bapak, Teh Ami, Teh Nisa guru ngajiku. Semua terbayang hidup dibenakku. Kesederhanaan Mas Amir, patuh dan cerianya Liya dan Adam. Kenapa aku sia-siakan? Kenapa aku sesali?? Rabbi..

Allahku, Engkau Adil. 

“Suami itu pemimpin keluarga. Kalau salah pilih rusak seluruhnya. Saat akad itu, berpindahlah semua kepemimpinan dari seorang ayah kepada suami. Seluruh tanggungjawab diberikan. Baik dan buruknya istri, perangainya istri, semua dibentuk oleh suami. Surga manut neroko katut, Wi..”

Bapak…

 

3 thoughts on “Surga Yang Terlupakan

  1. Subhanallah, tidak semua kemewahan itu berujung berkah. Adalah kesederhanaaan penuh iman yang selalu membawa bahagia. Dengan siapapun, seberapa lama apapun

    Like

  2. People can only see happiness when it comes to others or suffering for what had been gone. Well, I’m asking myself, why does human is always late to realize ? Maybe you have opinions about that

    Like

Leave a comment