Setanggi Surga

“Dek, ayo! Jangan mau kalah dong sama mas!” Mas Usamah menyemangatiku.

Sembari tersenyum manis manja menggoda. Aku semakin membara ingin mengalahkannya dalam olahraga Badminton kali ini. Setiap pekan kami terbiasa menyehatkan tubuh dengan pelbagai macam olah tubuh. Dan..lagi-lagi aku selalu kalah darinya.

“Yess, mas menang lagi..5-2! Ayo dong dek! Katanya kalau main sama Mbak Ziyah, adek selalu menang,masak sama mas kalah..”Ledeknya. Lagi dan lagi sembari tersenyum menggoda. Ah! Menggoda? Apa itu menghina?

Wajahku mengerut seketika, hati cemburuku terbakar.

“Loh? Kenapa cemberut gitu cantik??”Gombalnya. Seketika aku pun harus merubah raut wajahku. Agar tidak terbaca merah cemburuku oleh mas-ku  itu.

“Eh? Siapa yang cemberut mas?? Gak kok. Dek cuma capek saja.” Senyum ku padanya, menjawab pertanyaan mas Usamah. Topeng sekali aku ini.

“Oh, ya sudah. Kita sudahi saja ya?”Tanyanya meyakinkan. Sama sekali tidak terlihat membaca hatiku.

“Oh, ya..”Ku jawab dengan gugup terbata-bata.

Aku dan mas Usamah duduk di kursi taman depan rumah. Perumahan ini memang selalu menyediakan kursi taman untuk barang sejenak menepi. Memang ini perumahan kebanyakan para lansia. Sesekali setiap sore, para sepasang kakek dan nenek itu mengitari taman perumahan ini. Dengan lampu-lampu taman. Meski tak, jarang disalah gunakan oleh para remaja. Ya! Tentu saja Satnite, atau pun pagi di minggu.

Ku tawari mas Usamah segelas air mineral, wajahnya penuh dengan wibawa dan keteduhan. Diminumnya dengan semangat. Aku tersenyum sendiri menikmati wajah itu.

“Mas, mau main lagi? Kali ini pasti aku yang menang.”Tantangku. Sembari sok menjadi pemenang.

“Awas ya kalau adek kalah. Kalau menang, minggu depan kita ajak Mbak Ziyah dan Mas Prima tantang lawan kita.”Tukasnya.

“ Adek Mas yang menangkah atau Mbak Ziyah?”Godanya. Nada mengayun manis, meledek. Lagi dan lagi. Raket tak bermerk itu kusimpan kembali dalam tas.

“Waduh, gak jadi main lagi nih dek?”

“Hmm..Gak mas. Aku baru ingat pagi ini jam satu, ada janji dengan temen di kantor.. Maaf ya mas. Aku belum sempat cerita tetang agendaku Ahad ini…”Jawabku mengalihkan perhatiannya. Sembunyikan api cemburu.

“Tumben sekali ada agenda di hari Ahad. Perihal apa kalau Mas boleh tahu dek?”Tanyanya penasaran.

“Anis, teman sekantorku itu Mas. Baru melahirkan dua hari yang lalu. Aku dan teman-teman lain berencana menjenguk Anis dan bayinya..”Jelasku.

“Wah, bahagia sekali Mas mendengarnya. Tapi, bukankah janjinya jam satu dek? Ini masih jam tujuh loh..”Paparnya. Skak mat! Sebenarnya ini alih-alihku mencari alasan agar tak lagi meng-api.

“Hmm, mau bersihkan rumah,Mas!”Jingkat aku ambil tas raket dan peralatan lainnya. Berlaju menuju rumah.

Mas Usamah hanya diam. Hanya tersenyum, itu yang kulihat dari pantulan kaca ruang depan.

***

Gerimis pagi ini. Cukup membuat tubuh bergetar serabutan. Jelas. Perumahan ini memang di desain berada di dekat bukit, Namun, tak jauh dari perkotaan.

Hijaunya daun, gemercikan jatuh gerimis. Dahan-dahannya semakin membasah. Aura kesejukan semakin menggigilkan jalan-jalan setapak. Meski burung-burung itu belum muncul pagi buta ini.

Secangkir kopi susu hangat kesukaannya. Siapa? Ya, Mas-ku itu. Sudah selayaknya setiap hari melayani suami lebih dari apapun. Pagi ini jadwal kopi susu, esoknya teh hangat. Lusa susu. Begitulah. Itu aturanku untuknya. Dan dia tidak protes. Meski dia tahu ini kebiasaanku sewaktu di Sydney sana. Dan Mas Usamah mengikuti.

Sudah hampir dua tahun usia pernikahan. Dengan jarak yang sangat jauh dengan keluarga. Terlebih Mbak Ziyah. Sejak kecil aku dan Mbak Ziyah sangat dekat. Tumpah ruah perasaaan dan unek-unek pastilah kita saling berbagi. Itulah yang membuatku semakin rindu padanya. Mbak Ziyah kini sudah miliki buah hati. Usia pernikahan kami memang tak jauh berbeda jaraknya. Hanya saja Mbak Ziyah menikah satu bulan lebih awal dariku.

“Huu..Wangi khas kopi susu buatang Putri Natasja. Khas sekali..”

Aku hanya membalas dengan senyuman. Putri Natasja. Namaku memang berbeda dengan Mbak Ziyah. Aziyah Qathrunnada. Nama yang sangat islami. Sesuai dengan dirinya. Jauh sekali dunia luar. Jarang sekali menyentuh musik. Hampir tidak pernah bahkan. Kerudungnya yang sangat lebar sangat berbeda denganku.

“Dek, Mas berangkat.” Kecupan Mas Usamah mendarat di dahiku setelah ia lahap sandwich dengan madu. Pola hidup mahasiswa Saudi.

Ya. Ku biarkan kecupan demi kecupan mendarat didahiku. Dan kubalas dengan hormat sun tangan padanya. Mas Usamah Fakhrurazi. Hadirnya menyempurnakan setiap nafasku. Sosok lelaki yang cukup tinggi, gagah, berwibawa. Berjanggut tipis dan kacamata minusnya, menambah terlihat sosok tenangnya. Itulah Mas Usamah. Mas-ku yang banyak didambakan para akhwat-akhwat. Aku ingat dihari walimah ‘ursy setahun yang lalu.

“Sya, selamat yaa.. Dapetnya cowok Saudi juga kan ternyata..”Ledek Sita. Teman OSIS-ku dulu, sebelum  exchange ke Sydney, hingga akhirnya S1 disana.

“Weis, mantap nian kalian berdua ini. Dari dulu sudah ku bilang, kalian memang cocok.” Adam menimpal.

“Dek, Mas iri dengan Mbak Ziyah dan Mas Prima. Indah yaa kisah pertemuan cinta mereka.”Curhat Mas Usamah masih terngiang ditelingaku. Bahkan, menembus hingga api cemburu. Kalimar ‘itu’ menemani bayang Mas Usamah pagi ini.

Atau,

“Dek, masih ingat teman yang pernah Mas ceritakan dulu? Teman akhwat di lembaga Bahasa Arab?”

“Hmm, Afra?”

“Nah, iya. Kemana ya? Gak pernah dengar kabar tentangnya lagi. Adek juga sempat dekat dengan dia-kan?”

Aku dengan Kak Afra memang sempat dekat. Kami aktif diorganisasi dakwah salah satu SMA.

“Kurang tahu, Mas. “Simpul senyumku padanya. Cemburu,Sya?Sembunyi!

“Dek Sya? Melamun lagi. Apa yang kau lamunkan cantik?”

Melamun Sya? Jangan sekali-kali lagi terlihat Mas Usamah. Jangan terlihat cemburu,kesal dimukanya.

“Eh? Nggak Mas. Mas mau Dek Sya siapkan apa sarapan esok?”Gelagatan-ku menjawab terbaca olehnya.

Seketika mendarat lagi. Di dahiku, kecupan selamat tidur darinya.

“Kau ini, memang mau disiapkan apa? Mas tidur duluan cantik. Putri Natasja.”Senyum manis. Sembari mengelus-elus kepalalu yang masih di tutupi mukena.

Bodoh! Jelas-jelas Mas Usamah tidak terbiasa sarapan berat. Sebatas minuman yang kusiapkan plus beberapa potong roti dan madu!

***

Mutiara dan Berlian jenisnya sama-kan? Masih dalam keluarga perhiasan, kenapa masih dibedakan juga?Mawar dan Melati juga sama indahnya, apa harus selalu dibedakan? Bukankah hanya baik dan buruk yang pantas dibandingkan? 

Gundah sedihku terkuak. Aku menangis.

Kisah pertemuan kita memang berbeda dengan Mbak Ziyah dan Mas Prima, Mas. Mereka berawal tidak saling kenal. Mas Prima gurunya dipondoknya yang dulu. Mbak Ziyah sangat introvert. Mereka berdua hafal Quran diluar kepala.Ilmu agamanya juga gak diragukan lagi. Jauh dair hal-hal duniawi. Kisah kita? Kita memang teman organisasi. Aku dan Mas hanya berbeda tiga tahun saja. Aku kenal Mas dulu, ketika masih menjabat ketua Rohis. Masa-masa awal aku hijrah dari keduniawianku. Dan,mengapa Mas memlihku? Wajahku tidak seperti Mbak Ziyah ataupun Kak Afra. Yang ku tahu, mereka standarnya Mas, nonik-nonik Arab, Turki, Iran Iraq. Itu paras wajah yang mas cintai keindahannya. Pintar? Aku tidak ahli agama. Jurusanku Hubungan Internasional. Bahkan mungkin bisa dibilang jarang menyentuh dunia keagamaan. Hanya saja aku aktif mengisi mentoring para remaja. Kenapa Mas? Aku memang bukan mutiara ataupun berlian. Tapi, perbandingan itu berat untukku..

Tumpah-ruah air mataku. Sakit yang memerih. Masih dalam sujudku. Sejak sedari tadi, Mas Usamah terlelap.Aku dipeluk!

Ya Rabb.. Mas Usamahkah yang memelukku? Ia mendengarkan keluhku? Cemburuku? Curhatku padaMu? Aku tak mau membuatnya resah dan tidak nyaman hatinya. Karena keluhku. Allahku..

Pelukannya semakin erat. Tangisku semakin pecah. Aku tak mau mendurhakai suamiku sendiri dengan kecemburuanku.

“Dek Sya..  Setanggi Syurgaku. Karena ku tahu, agamaku takkan sempurna tanpamu, cinta…”           

                                                            ***

Leave a comment