Banpo Istimewa

Masih dengan cuaca Bandung yang kian hari kian mendung. Pun dengan hiruk-pikuk kondisi bangsa. Aku hanya bisa menafsir. Mengira-ngira dan berkhayal. Ya, mungkin kita. Para muda-mudi milik negara. Bermimpi jadi juara, mengangkat nama dan kehormatan bangsa. Ya, mungkin kita. Yang kini sedang ditempa. Kau di sana. Dan aku? Ku kira kita sama. Bermimpi-mimpi menggenggam dunia dengan agama.

Kau dan aku. Lebih sering menafsir. Iyakan? Menafsir keadaan, dan mencoba mencari perhelatan dari setiap keadaan. Agar terbebas dari cacian dan dapat pujian.
Kau dan aku. Manusia memang sering mengira-ngira. Ada apa? Mengapa? Seperti apa? Siapa? Apa dan apa lainnya. Ya, begitulah kita. Kau, apakah pernah begitu? Jujur saja. Aku pun begitu. Setumpuk pertanyaan yang berujung menduga-duga.

Kau dan aku. Pagi, siang, sore bahkan terbawa shalat pun mengkhayal. Tentang? Terlalu banyak yg kita khayalkan. Yang mungkin bahkan yang mustahil. Berkhayal harta, jabatan, warisan, pujian. Jodoh? Ah, itu sudah pasti jadi menu utama pikiran. Bahkan, aku sering sekali berkhayal jika kisah cintaku nanti, apakah seperti Aisyah dalam AAC-nya Kang Abik? Atau menjadi lakon Anna dalam yang berujung berada dipangkuan Azzam? Itukan kisah KCB. Mungkin? Atau seperti kisah Cinta dan Rangga? Pak Habibie dan Bu Ainun? Ah, itu hanya segelintir. Ada yang fakta pun direkayasa. Drama sekali. Hidupmu dan aku?

Ternyata aku salah.  Dalam kamusku menafsir adalah mengartikan. Jauh dengan mengira-ngira apalagi berkhayal. Aku menafisrkan mimpi kita, rantai saudara aku dan kau seperti ‘dinding’. Seharusnya bukan ‘dinding’ tapi ‘jembatan’. Jembatan yang menyambung kampung ke kampung. Pulau ke pulau. Kota ke kota. Kau tahu Jembatan Suramadu atau Jembatan Ampera?

Dinding itu terlalu besar dan tinggi. Aku dan kau, lebih sering mendirikan ‘dinding’ dari pada membangun ‘jembatan’. Maka terputuslah. Seperti transaksi antar kota, antar pulau, antar desa. Bahkan lebih sering tawuran. Sakit satu sama lain. Mimpi, yang dulu ingin kita bangun  bersama negara , semakin rapuh. Di grogoti ‘dinding’ itu.

Kau, pernah tahu kisah koloni semut? Karena mereka sebelum membangun istana, pastilah mereka membangun jembatan. Dimana mereka saling estafeta bekal makanan dan bangunan. Estafeta sambil terus menerus menyebut nama-Nya. Padahal mereka, buta!

Nyatanya aku yang salah. Aku bukan menafsir. Karena penafsiran butuh banyak referensi. Banyak penelitian dan diskusi. Namun, aku hanya mengira-ngira. Mengira aku yang paling suci, dan kau yang mendirikan ‘dinding’ itu. Menghancurkan ‘jembatan’ yang telah lama kita bangun. Bisa jadi aku pun berkhayal. Yang keakuratannya lebih pada imajinasi.

Ya, aku hanya berharap kita bisa membangun ‘jembatan’ itu dan membuat sebuah menara indah di seberangnya. Menara di mana kita bisa menelanjangi bola-mata melihat indahnya perjuangan kita.

Dan satu hal, kau tahu Banpo?  Banpo kita akan lebih indah dan istimewa. Dan menara, menara seperti apa kiblat kita? Eiffel? CN Tower? Ataukah Monas?

Leave a comment